Rabu, 27 Juli 2011

Mari Bersama, Kita Mempraktekkan Kehidupan Jemaat Mula-Mula (1 Kis. 2:41-47)

I. Pendahuluan
Seorang Kristen yang telah diselamatkan, pastinya akan menerima jaminan hidup kekal, yaitu masuk Surga. Namun tidak langsung serta merta, masuk ke Surga pada saat itu, bukan? Kenapa? Ya, tentu saja karena kita tidak segera langsung pada saat itu masuk Surga, karena kalau kita langsung masuk Surga, ya berarti kita langsung meninggal dunia. Nah, ini berarti kita masih harus menjalani hidup di dunia ini.

Setelah kita menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita, serta menerima jaminan hidup kekal bukan berarti kita berhenti sampai situ saja. Tugas kita masih ada. Already but not yet. Kita Already (sudah) mendapatkan jaminan keselamatan kekal, tapi not yet (belum tergenapi) secara penuh karena masih menunggu konsumasinya (penggenapan secara utuh) pada saat kita meninggal dunia atau ketika Tuhan Yesus datang yang kedua kalinya. Selama not yet itulah, kita menjalani hidup yang bukan hanya sekedar menjalankan hidup saja, namun pastinya ada tugas dan tanggung jawab yang Tuhan berikan. Suatu anugerah kesempatan hidup yang Tuhan berikan, untuk dijalani dengan tujuan untuk memuliakan nama Tuhan. Hidup yang memuliakan nama Tuhan, seharusnya mengarah kepada hidup yang semakin serupa dengan Kristus, sebagai Tuhan Allah Pencipta dan Penebus kita. Menghidupi hidup yang diberikan Allah sesuai dengan kehendak, tujuan dan rencana-Nya.

Perwujudannya diantaranya adalah dengan belajar untuk menjalankan hidup benar di hadapan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari; semakin belajar untuk mengenal Tuhan dalam suatu relasi yang intim bersama Tuhan baik secara pribadi maupun dalam suatu komunitas orang percaya; hingga akhirnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat memberitakan Injil kepada orang lain. Secara langsung yaitu melalui semangat dan melakukan misi dan ber-PI (Pekabaran Injil). Secara tidak langsung yaitu melalui teladan hidup kita, dimanapun dan kapanpun kita berada. Sehingga pada akhirnya, setiap orang bisa mengenal dan menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya sehingga semakin bertambah jumlah orang yang boleh dimenangkan bagi Kristus dan nama Tuhan semakin dimuliakan di atas muka bumi ini.

Hal ini sejalan dengan tema HUT gereja kita, GMI Imanuel pada tahun ini yaitu “Cinta Akan Rumah-Mu Membangunkanku”. Rumah-Mu di sini tentunya merujuk kepada rumah Tuhan (gereja). Gereja di sini tentunya tidak hanya sekedar gereja dalam arti literal berupa gedung gereja Tuhan secara fisik saja, namun juga gereja dalam gambaran sebagai tubuh Kristus. Tubuh Kristus yang terdiri dari beberapa anggota tubuh Kristus, yang terdiri dari kumpulan orang-orang percaya.

Sikap setiap jemaat Tuhan untuk mencintai akan rumah Tuhan, baik mencintai bangunan gereja secara fisik maupun mencintai gereja sebagai kumpulan komunitas orang percaya, pastinya Tuhan akan memberikan suatu kebangkitan dan pertumbuhan bagi gereja tersebut. Kebangkitan kerohanian masing-masing jemaat sebagai tubuh Kristus yang akan berdampak pula terhadap pertumbuhan jumlah jemaat gereja. Namun pertanyaannya sekarang, adalah apakah kita sebagai umat Tuhan sudah mencintai gereja kita? Mencintai Gereja Methodis Imanuel sebagai rumah Tuhan secara fisik maupun mencintai gereja yang melambangkan komunitas orang percaya. Tapi mungkin kita belum tahu bagaimana caranya?

Pada kesempatan ini, kita akan sama-sama belajar dari apa yang Alkitab katakan mengenai bagian ini, yang dapat dilihat dalam kehidupan sehari-sehari jemaat Kristen mula-mula di Yerusalem. Kehidupan mereka mewakili gambaran gereja yang hidup dan sehat melalui pertumbuhan kerohanian dan pertumbuhan jemaatnya. Gereja yang mencintai Tuhan, gereja dan sesamanya. Kita akan coba melihat relasi yang bisa direlevansikan dengan kehidupan gereja pada saat ini.

II. Kehidupan Jemaat Mula-Mula
Gereja yang bertumbuh, menurut Rick Warren, dalam bukunya The Purpose Driven Church, adalah gereja yang hidup dan sehat. Bertumbuh secara kualitas juga secara kuantitas. Kualitas di sini berkaitan dengan kehidupan kerohanian jemaat, sedangkan kuantitas berkaitan dengan jumlah jemaat. Kaitannya diharapkan adalah dengan adanya suatu pertumbuhan kualitas kerohanian seseorang akan mempengaruhi kerinduan dirinya untuk juga membawa orang lain datang dan mengenal Tuhan. Andaikan satu orang saja sudah memiliki kerinduan ini, kita tentu akan melihat dampaknya, jika hal ini terjadi pada seluruh anggota gereja. Tentu saja hal ini tidak dapat kita pisahkan dari adanya peran Tuhan yang memberikan pertumbuhan jumlah jemaat tersebut.

Di dalam Alkitab, kita bisa melihat hal ini di dalam Kisah Para Rasul pasal 2 ayat 41-47, yang menceritakan cara hidup jemaat mula-mula pada waktu itu. Kita akan melihat kehidupan kerohanian jemaat mula-mula yang berdampak terhadap lingkungan sekitar dan akhirnya menambahkan jumlah orang yang percaya.

Jemaat di Kisah Para Rasul ini terdiri dari sebagian orang-orang non-Yahudi (gentiles), dan juga sebagian orang Yahudi yang telah bertobat menjadi pengikut Kristus. Hal ini dapat dilihat di pasalnya yang ke-2 ayat 14, yaitu ketika rasul Petrus berkotbah di hadapan orang-orang Yahudi maupun non-Yahudi yang tinggal di Yerusalem untuk mengikuti ibadah Pentakosta.[1] Mereka menunjukkan pertobatan mereka dengan cara memberi diri mereka dibaptis di dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosa mereka (ay. 38). Jumlah mereka kira-kira sebanyak tiga ribu jiwa (ay. 41).

Keadaan mereka setelah bertobat tidak berhenti hanya sampai dibaptis saja. Mereka pun mulai bertekun bersama dalam pengajaran para rasul, persekutuan, pemecahan roti dan doa bersama. (ay. 42a). Mereka biasa melakukannya di rumah salah satu jemaat secara bergiliran (ay. 46). Mereka inilah yang disebut sebagai kumpulan jemaat mula-mula, sebagai cikal bakal berdirinya suatu gereja Tuhan pada saat ini. Kita akan melihat penjelasan 4 kegiatan yang biasa dilakukan oleh jemaat mula-mula dan dampaknya, di bawah ini:

1. Pengajaran para rasul (teaching)
Suatu landasan penting yang mendasari kehidupan kerohanian jemaat mula-mula. Bertujuan untuk mengajarkan iman yang berpusat kepada Kristus melalui pengajaran para rasul disertai mempersiapkan para jemaat untuk mewujudkannya dalam kehidupannya sehari-hari. Menjadi saksi di tengah-tengah komunitas orang percaya maupun orang-orang yang belum percaya.

2. Persekutuan (fellowship)
Kata persekutuan di sini lebih merujuk kepada aktifitas sharing atau berbagi di tengah-tengah komunitas orang percaya. Hal ini ditunjukkan dalam hal berbagi kepunyaan milik pribadi untuk kebutuhan bersama (ay. 44-45). Mereka menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluannya masing-masing (ay. 45). Persekutuan ini juga disertai dengan kegiatan memuji Allah secara bersama, makan bersama-sama, dan juga berdoa bersama. Hal ini memperlihatkan adanya suatu keutuhan dan kesatuan hati, yang diwujudkan dengan kepedulian terhadap sesamanya. Relasi dalam suatu persekutuan yang didasari atas kesamaan status sebagai pengikut Kristus, anggota tubuh Kristus.

3. Pemecahan roti (breaking of bread)
Kegiatan ini merujuk kepada kegiatan perjamuan suci, yang serupa dengan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus dalam perjamuan terakhir bersama murid-muridnya. Pada awalnya, kegiatan ini dilakukan sebagai sebuah perayaan untuk memperingati peristiwa perjamuan terakhir tersebut. Sebenarnya dalam konteks bagian ini, penulis ingin menggambarkan interaksi antara sesama anggota jemaat yang harmonis disertai dengan adanya pengertian dan penerimaan satu sama lainnya. Inilah tujuan dari kehidupan komunitas orang percaya yang sebenarnya.

4. Doa (the prayers)
Aktifitas berdoa bersama juga menjadi salah satu kegiatan yang utama, yang dilakukan oleh jemaat mula-mula. Doa sebagai suatu kegiatan rohani yang menunjukkan suatu relasi dengan Tuhan. Tujuannya adalah untuk mencari kehendak Tuhan, memohon penyertaan-Nya dan bersandar kepada-Nya melalui kuasa doa. Bentuk doa pada waktu itu tidak hanya berasal dari ritual doa Yahudi saja, namun juga mulai berkembang menjadi bentuk doa Bapa Kami yang diajarkan oleh Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya serta doa-doa yang sifatnya spontan. Ritual doa yang tidak hanya dapat dilakukan di dalam Bait Suci, namun juga dapat dilakukan di dalam rumah-rumah jemaat. Hal ini dapat dilihat di ayat 46.

Melalui kegiatan mereka sehari-hari ini, tentunya memiliki dampak dan pengaruh, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, yaitu di dalam komunitas orang percaya memiliki suatu pengenalan akan Tuhan yang semakin bertambah, melalui pengajaran para rasul. Kemudian mereka juga mewujudkannya dalam kehidupan suatu komunitas yang bersatu dan sehati; saling membangun; menguatkan; dan memperhatikan satu sama lain (adanya kepedulian terhadap sesama yang sedang membutuhkan), melalui adanya persekutuan dan doa bersama. Hal ini terlihat dapat dilihat di dalam ayat 44, 45 dan 46.[2]

Dampaknya secara eksternal, yaitu bagi komunitas sekitar yang terdiri dari orang-orang non-percaya yang berada di luar komunitas ini. Di dalam ayat 43, dikatakan bahwa mereka merasakan kagum, takut bahkan berhati-hati, ketika mereka melihat kegiatan komunitas jemaat mula-mula ini.[3] Terlebih lagi ketika mereka melihat aktifitas para rasul yang mengadakan banyak mujizat dan tanda-tanda. Namun secara kontras, di akhir bagian ini yaitu ayat ke-47 menunjukkan suatu perubahan yang drastis. Dituliskan bahwa: ”…Dan mereka disukai semua orang…”. Awalnya dianggap sesat, aneh, ditakuti;  namun pada akhirnya menjadi disukai semua orang. Menunjukan bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh komunitas jemaat mula-mula ini memberikan pengaruh yang baik bagi orang-orang sekitar. Tidak hanya itu saja, bahkan Tuhan juga memberkati komunitas ini, yaitu Tuhan menambahkan jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan (ay. 47b). Inilah kerohanian seseorang maupun komunitas orang percaya yang telah dipenuhi oleh Roh Kudus.

Keadaan yang sejahtera ini tentunya tidaklah terlalu lama berlangsung, karena Tuhan mengizinkan adanya penganiayaan terhadap orang-orang Kristen yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi maupun para kaisar Roma. Namun sekali lagi kita dapat melihat, bahwa iman mereka tidaklah goyah atau hancur. Walaupun mereka terkesan harus berserakan, bahkan harus keluar dari Yerusalem namun mereka tetap setia dengan imannya. Tentunya hal ini tidak bisa dilepaskan dari kehidupan awal mereka sebagai jemaat mula-mula yang telah memiliki akar yang kuat di dalam pengenalannya akan kebenaran Injil Kristus. Selain itu juga memiliki kesatuan yang sehati dalam kehidupan persekutuan orang percaya dan kehidupan doanya.

Pada akhirnya, kita bisa melihat melalui Kisah Para Rasul ini bahwa Tuhan yang berkuasa dan berdaulat tetap memelihara iman jemaat mula-mula, bahkan melalui peristiwa penganiayaan ini dipakai sebagai suatu cara untuk semakin memberitakan Injil ke seluruh dunia. Para rasul dan para jemaat mula-mula yang dulu berada di Yerusalem, akhirnya harus keluar dari Yerusalem untuk melindungi diri dan juga semakin memberitakan Injil Kristus ke daerah-daerah di luar Yerusalem.

III. Relevansi Pada Saat Ini
Melalui kehidupan rohani mereka, Tuhan memberkati dan menambahkan jumlah mereka. Mereka dengan tekun hidup dalam pengajaran Firman Tuhan oleh para rasul. Mereka tekun, bersatu dan sehati, dalam persekutuan orang percaya. Mereka selalu mengingat akan karya keselamatan Tuhan Yesus melalui perjamuan kudus, sebagai dasar mereka untuk hidup benar di tengah-tengah dunia yang belum mengenal Tuhan. Dan mereka juga mengutamakan doa dalam kehidupan mereka, sebagai dasar landasan kerohanian mereka. Melalui doa, mereka mencari kehendak Tuhan, memohon penyertaan pimpinan-Nya dan bersandar kepada-Nya. Inilah contoh kehidupan kerohanian yang harus kita ikuti, sebagai umat Tuhan.

Kita kembali diingatkan untuk mengikuti dari contoh teladan mereka; dan juga menerapkannya dalam kehidupan kerohanian gereja secara keseluruhan. Mulai dari seluruh hamba Tuhan, majelis, pengurus, aktifis, jemaat awam secara bergandengan tangan berkomitmen untuk melakukannya. Kita bersama-sama bertekun untuk hidup dalam pengajaran Firman Tuhan, yang disediakan di dalam kebaktian umum setiap minggunya, maupun secara pribadi dalam kehidupan SaTe (Saat Teduh) kita.

Bersama-sama berkomitmen untuk bergabung dalam persekutuan-persekutuan yang ada. Mulai dari persekutuan-persekutuan berdasarkan pembagian klasifikasi yang ada. Mulai dari kebaktian PRMI (remaja); persekutuan P3MI (pemuda); persekutuan P2MI (kaum pria); persekutuan PWMI (kaum wanita); dan persekutuan usia indah (lanjut usia). Tidak hanya itu, kita juga berkomitmen untuk mengikuti kelompok-kelompok kecil yang telah disediakan gereja, untuk semakin mempraktikan kehidupan jemaat mula-mula. Persekutuan sesama anggota tubuh Kristus, yang bersatu dan sehati, yang dilandasi atas dasar kasih Kristus dan kasih terhadap sesama. Melalui persekutuan ini, kita belajar mempraktekkan kasih kita kepada sesama melalui kepedulian kita. Persekutuan sebagai alat kepanjangan tangan dari gereja, untuk memantau segala hal yang mungkin tidak bisa dijangkau oleh gereja secara langsung. Hal ini biasanya disebabkan karena begitu banyaknya jumlah jemaat yang harus diperhatikan satu demi satu.

Di dalam persekutuan, juga bisa meniru kehidupan jemaat mula-mula untuk mengadakan makan bersama. Tidak harus mewah dan mahal, yang sifatnya sederhana pun juga boleh;  Namun yang terutama adalah adanya kebersamaan di antara sesama anggota. Hal ini bertujuan untuk menjalin relasi yang baik dan harmonis; memiliki pengertian, keterbukaan, penerimaan dan kepercayaan satu sama lainnya. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, semuanya sama dan setara di mata Tuhan. Apalagi tradisi dalam kebudayaan Tionghoa ataupun Indonesia secara keseluruhan yang biasa menggunakan tradisi makan bersama sebagai lambang adanya kebersamaan dengan sesama.

Terakhir berkomitmen dalam kehidupan doa kita. Tidak hanya mengikuti persekutuan doa di gereja, namun juga harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari kebiasaan berdoa setiap hari pada kegiatan Saat Teduh, hingga pada akhirnya menjadi sebuah gaya hidup (kebiasaan) yang dilakukan tanpa dibatasi oleh waktu dan tempat. Artinya dalam segala keadaan, dimana pun dan kapan pun kita dapat berdoa, berseru, berbicara kepada Tuhan. Berdoa tidak hanya sekedar berisi doa permohonan pribadi akan segala kebutuhan kita, namun yang terutama adalah berisi doa-doa syukur kepada Tuhan, doa pujian kepada Tuhan dan doa syafaat bagi bangsa, gereja, dan sesama kita maupun orang lain yang sedang membutuhkan. Berdoa yang benar, fokusnya adalah bukan hanya pada diri sendiri, melainkan juga seharusnya berfokus pada yang ada di luar diri kita, di sekeliling kita.

Motivasi berdoa juga harus dilandasi atas anugerah Tuhan yang telah memperdamaikan kita sehingga kita dapat berkomunikasi kepada Tuhan melalui doa. Doa yang seharusnya bertujuan hanya untuk memuliakan nama Tuhan, artinya sesuai dengan kehendak Tuhan. Seperti yang telah Tuhan Yesus ajarkan dalam doa Bapa Kami, yaitu bahwa doa harus diserahkan kepada kehendak Tuhan, bukan kehendak kita sendiri. Karena Ia-lah Allah yang Maha Kuasa, Maha Hadir, Maha Tahu, Maha Baik dan yang berdaulat.

Selain kita mempraktekkan kehidupan jemaat mula-mula, kita pun juga bisa mengikuti segala kegiatan pelayanan gereja yang dapat membantu kita untuk semakin mencintai Tuhan, gereja dan sesama. Salah satunya adalah dengan mengikuti program pembinaan Komunitas KAMBIUM.[4] Suatu program yang telah gereja sediakan bagi jemaat yang telah mengikuti katekisasi, pembaptisan atau sidi (baptis dewasa). Program ini bertujuan untuk meletakkan dasar-dasar pertumbuhan iman Kristen untuk menjadi murid Kristus dan menjadikan orang lain murid Kristus di mana pun dia berada dan diutus. Sehingga pada akhirnya setiap jemaat dapat memiliki suatu kehidupan kerohanian yang berakar dalam Kristus; bertumbuh dalam Kristus; dan berbuah dalam Kristus. Sehingga kita tidak hanya semakin mengenal-Nya, namun juga dapat semakin mengasihi-Nya, melayani-Nya dan membagikannya kepada orang lain. Sehingga nama Kristus semakin dimuliakan pada akhirnya.


IV. Kesimpulan
Pada akhirnya semakin kita mencintai Tuhan, maka kita juga akan mencintai gereja, rumah Tuhan. Semakin kita mencintai Tuhan, secara otomatis kita pun akan dibawa untuk mencintai gereja Tuhan dan komunitas orang percaya. Mencintai gereja berarti juga mencintai komunitas orang-orang percaya di dalamnya. Berkomitmen bersama untuk bergabung di dalamnya. Sama-sama saling mengubah dan diubahkan. Saling belajar dan diajar. Saling memberkati dan diberkati. Hingga pada akhirnya, kita semua akan mengalami suatu pertumbuhan kerohanian bersama-sama. Tidak hanya bertumbuh melainkan juga semakin berbuah bagi komunitas sesama orang percaya. Bahkan juga berbuah (berdampak) bagi orang lain di sekitar kita yang belum mengenal Tuhan. Pastilah, jika melakukan apa yang dikehendaki oleh Tuhan dan bersandar pada kuasa Roh Kudus maka Ia pun akan menyertai dan memberkatinya. Hal ini sama seperti yang pernah dialami oleh jemaat mula-mula. Kita percaya, pada akhirnya bahwa setiap gereja dan komunitas umat Tuhan yang hidup mengikuti kehendak Tuhan, akan diberkati Tuhan melalui terjadinya pertumbuhan secara kerohanian dan pertambahan dalam jumlah orang-orang yang diselamatkan.

Gereja Methodis Indonesia Jemaat Imanuel pun bisa mengalaminya, jika berkomitmen secara bersama-sama, bergandengan tangan meneladani dan mempraktekkan kehidupan jemaat mula-mula. Mari kita bersama-sama mulai mempraktekkan kehidupan jemaat mula-mula. Semakin mencintai Tuhan. Semakin mencintai gereja Tuhan dan semakin mencintai sesamanya. Bersama dan di dalam Tuhan, GMI Imanuel pasti akan bisa mengalami kebangkitan rohani dan pertumbuhan jemaat. Amin. Soli Deo Gloria.

Sumber:
Bock, Darrel. L. ACTS. Baker Exegetical Commentary on the New Testament. Grand Rapids:
Baker Books, 2007.
Drane, John. Memahami Perjanjian Baru, Pengantar Historis-Teologis. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2000.
Marshall, I. Howard. ACTS. The Tyndale New Testament Commentaries. Surabaya:
Momentum, 2007.


[1] Pentakosta adalah suatu hari perayaan rutin orang Yahudi yang dapat dilihat di dalam PL (Kel. 23:16; Im. 23:15-21; Ul. 16:9-12). Biasanya disebut dengan Hari Raya 7 Minggu (Hari Raya Menuai). Dirayakan pada waktu lima puluh hari setelah permulaan panen atau sesudah perayaan Paskah PL. Oleh karena itu perayaan ini untuk memperingati saat pemberiaan Taurat di Gunung Sinai, 50 hari setelah perayaan Paskah di Mesir. Hari Raya ini termasuk dalam salah satu dari tiga Hari Raya besar orang Israel yang harus dirayakan dengan cara berkumpulnya para lelaki Yahudi di Bait Allah Yerusalem. Namun berubah maknanya setelah peristiwa turunnya Roh Kudus di dalam PB.
[2] Perhatikan kata yang diberi huruf tebal. Ayat 44: “dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama.” Ayat 45: “….mereka menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Ayat 46: “Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati,”
[3] Bagian ini merujuk kepada jiwa-jiwa mereka menjadi kagum, takut dan juga berhati-hati terhadap kegiatan komunitas jemaat mula-mula tersebut. Hal ini karena latar belakang pada waktu itu bahwa orang-orang Kristen dianggap sebagai pecahan dari Yahudi (sekte) yang sesat, yang patut diwaspadai. Bahkan mereka juga dianggap sebagai pemberontak karena mereka menolak untuk menyembah kepada Kaisar. Terlebih lagi dengan peristiwa hukuman mati disalib terhadap Yesus Kristus sebagai pencetus (pemimpin) komunitas ini.
[4] KAMBIUM, singkatan dari Komunitas Pertumbuhan Iman Untuk Menjadi Murid Kristus.

Rabu, 13 Juli 2011

Hate waiting? Tell us why!

Hate waiting? Tell us why!

Hamba Tuhan juga manusia biasa, bukan SUPERMAN

Sedih mendengarnya...... Just think n realize this fact n the reality (ga abis pikir):

Even hamba Tuhan adalah pelayan Tuhan yang dengan sukarela mengerjakan pelayanan panggilannya....namun ia juga manusia biasa yang punya banyak kelemahan (walaupun bukan sebuah kompromi). Ia hamba dan pelayan TUHAN, bukan pelayan dan hamba MANUSIA....bukan pula pelayan dan hamba GEREJA.

Perlakukanlah ia sama seperti Tuhan Yesus juga telah memperlakukanmu sebagai sesamanya manusia. Hal ini terlihat ketika Tuhan Yesus mengajarkan kepada para pendengarnya dengan cerita perumpamaan orang Samaria yang baik.

Tidak hanya itu, bahkan rasul Paulus juga mengajarkan dan mengingatkan dalam surat Efesus dan Kolose, mengenai aplikasi cara hidup seseorang sebagai manusia baru. Manusia yang telah menerima ANUGERAH KESELAMATAN dari Kristus.

Dalam surat Efesus 2:10, kita diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan PEKERJAAN BAIK yang dipersiapkan Allah,....supaya kita HIDUP di dalamnya (LIVE the LIFE in Christ absolutely).Hiduplah sebagai orang yang mengenal Allah, bukan lagi hidup seperti orang bebal. Yaitu dengan menerapkan KASIH KRISTUS sebagai dasar hidup, entah di dalam hubungan suami isteri, orang tua dan anak termasuk antara TUAN dan HAMBA (Ef. 5-6).

(ay. 5-6) Hamba harus mentaati dengan takut hormat dan gentar, tulus hati sama seperti taat kepada Kristus. Melayan dengan segenap hati untuk TUHAN, bukan untuk MANUSIA. Demikian pula TUAN-TUAN, PERBUATLAH JUGA terhadap mereka dan jauhkanlah ancaman (ay. 9). Ingatlah, contohlah, teladan bahwa Tuhan mereka dan Tuhan kamu ada di Sorga JUGA TIDAK MEMANDANG MUKA (membeda-bedakan).

Memang ketika saya menulis ini, jujur saya sedang emosi karena mendengar suatu kasus cerita seorang teman yang sedang praktek pelayanan setahun di sebuah gereja. Cerita lama yang tidak asing lagi, ketika ia merasa dirinya dianggap seperti seorang bawahan yang sedang melayani manusia, bukan gereja. Melayani karena TAKUT sama manusia, bukan TAKUT akan TUHAN. Melayani hingga sampai tidak dapat istirahat, saking SIBUKNYA....entah itu ada atau tidak hamba Tuhan yang lain. Biasannya hal ini dilakukan oleh seorang majelis atau bahkan lagi, dilakukan oleh seorang HAMBA TUHAN yang senior atau juga seorang ISTRI HAMBA TUHAN.

Namun sekali lagi saya juga tidak ingin meyoroti dari satu sisi saja. Makanya, saya menyoroti dari dua sisi, baik itu sebagai HAMBA maupun TUAN dan apapun status pekerjaan kita....kita harus memberikan yang terbaik, dan untuk memuliakan nama-Nya. Lakukan dengan dasar Kasih Kristus.

Saya juga pasti akan terus memberikan kekuatan dan semangat bagi dirinya. Tidak lupa mengajarkan untuk mencoba melihat, menantikan KARYA TUHAN dan PEMBENTUKANNYA dengan KESABARAN dan PENGHARAPAN. Walaupun seringkali kita tidak sabaran. Selain itu juga BELAJAR dari KESALAHAN-KESALAHAN yang terjadi dan telah dilakukan, sehingga kita TIDAK MENGULANGINYA lagi. Pasti ada sebabnya, BACKGROUNDnya seseorang melakukan kesalahan dalam menjalankan fungsinya, sebagai HAMBA maupun sebagai TUAN.

Saya juga belajar untuk bukan emosi, membalas, tapi dengan BERDOA.
Bapa, Ampunilah mereka yang berbuat tidak sepantasnya kepada para hamba Tuhan..terkadang mereka tidak tahu, tidak memahami..dan tidak bersikap dengan KASIH-MU. Tuhan juga tolong TEGUR mereka, agar mereka menyadari kesalahannya karena TUHAN sendiri telah mengajarkan bagaimana MEMPERLAKUKAN SESAMANYA MANUSIA. Apalagi ini adalah SESAMANYA REKAN SEPELAYANAN.

Ajarlah setiap hamba Tuhan yang diperlakukan seperti itu, agar mampu melihat KARYA PEMBENTUKAN TUHAN dengan MATA HATI yang berasal dari TUHAN, dengan KASIH yang Murah Hati, dan PANJANG SABAR.

BANYAK TAHU sesuatu belum tentu MAMPU MELAKUKAN dengan BENAR...namun MAU TERUS BELAJAR dan DIAJAR dengan memiliki KERENDAHAN HATI, niscaya juga memiliki KEMAMPUAN untuk melakukankan dengan BENAR.

Pasti, Tuhan Yesus tetap menyertai setiap hamba-hambaNya....
Tetap berdoa, tetap bersandar, tetap memberikan yang terbaik, tetap tersenyum.....
just as what Jesus has done.

Tuhan Memberkati, Soli Deo Gloria.

Rabu, 06 Juli 2011

Habbit of Mind


Artikel ini adalah bagian dari tugas matakuliah Teori Pemikiran di STTB, dengan dosennya bpk. Agus Gunawan, M.Th. Tugas ini mengajak mahasiswa untuk belajar memahami diri, dengan merefleksikan kebiasaan-kebiasaannya dalam berpikir (habbits of mind)selama ini dan rencana yang akan dilakukannya di masa mendatang.

Refleksi ini sangat bermanfaat bagi saya, seseorang hamba Tuhan yang harus terus mau belajar dan diajar bahkan juga membagikannya bagi orang lain. Kiranya artikel ini juga dapat mengajak para pembaca untuk merefleksikannya dalam kehidupannya masing-masing. Tuhan memberkati.

I. Pendahuluan
Teori pemikiran dan berpikir (kritis). Kedua kata inilah yang penulis dapatkan ketika melihat di jadwal rencana perkuliahan semester ganjil 2010/2011 ini. Sudah ada ketertarikan sebelumnya karena melihat siapa dosen yang mengajarnya, namun masih belum tahu apa bahan yang akan diajarkan. Perkiraan awal pastilah berkaitan dengan cara berpikir dan ada kemungkinan berkaitan dengan teologi sistematika. Harapan saya tentunya pastilah mendapatkan hal yang baru yang mungkin bisa menambah wawasan baru bahkan merubah pandangan atau pemikiran saya.

Sebelum penulis masuk STTB, bisa dikatakan bahwa penulis tentunya memiliki kelemahan dan kelebihan yang penulis sadari, salah satunya adalah dalam masalah pemikiran. Penulis merasa bahwa penulis memang kurang dalam hal ini, khususnya dalam hal berpikir secara sistimatis, berpikir secara kritis, serta keberanian mengutarakan pendapat dan argumen. Terlebih lagi penulis lebih menyukai hal-hal yang praktika, artinya adalah penulis selalu lebih memilih hal yang bersifat praktis dibandingkan hal yang bersifat “teori”. Teori di sini, dalam arti penulis kurang menyukai hal-hal yang berkaitan dengan filosofi dan yang membutuhkan pemikiran yang kritis.

Hal ini disebabkan mungkin dari latar belakang penulis dan kesukaannya. Sejak masih di sekolah Teologi yang lama, penulis sudah menyadari hal ini, bahwa ada kecendrungan untuk memiliki kelebihan dalam mata kuliah yang praktika dibandingkan mata kuliah yang sifatnya teori, seperti filsafat, sistematik dan teologi. Namun bukan berarti dengan mengetahui kelemahan ini, penulis menyerah dan tidak mau berusaha untuk mempelajarinya. Hal ini merupakan bagian dari pembentukan dan pertumbuhan kerohanian serta karakter penulis sejak masuk ke sekolah Teologi, melalui konseling dan pengenalan diri penulis.

Hal ini akhirnya yang menjadi pendorong, ketika masuk ke STTB, yang menurut penulis memiliki ciri / karakteristik dalam mata kuliah, dosen dan mahasiswanya memiliki kelebihan dalam hal pemikiran. Artinya mereka sudah dibiasakan sejak semester satu untuk menyatakan dan menuangkan pemikiran-pemikiran yang terkendali dalam tulisan-tulisan paper. Tentunya tidak hanya sekedar pemikiran liar namun pemikiran yang berdasarkan kebenaran, sistematis, runtut, koheren, kongruen dan sebagainya. Penulis merasa, memang ini adalah bagian dari tanggung jawab dari penulis setelah penulis mengalami kegagalan di seminari sebelumnya, namun ini juga bagian dari kehendak dan kedaulatan Tuhan untuk membentuk diri penulis. Khususnya dalam hal yang berkaitan dengan pola pikir dan pemikiran yang sistematis dan kritis di STTB. Terlebih lagi ketika sudah mengambil mata kuliah teori pemikiran ini. Oleh karena itu penulis berusaha membuat essay ini secara sistematis dan kritis, diawali oleh latar belakang penulis terlebih dahulu, dilanjutkan alasan-alasan untuk terus belajar dan berkembang hingga rencana-rencana yang akan dipikirkan dalam masa mendatang yang tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan untuk membangun diri dalam hal berpikir.

II. Panggilan penulis
Ketika penulis masuk seminari, penulis merasa belum memiliki bahkan mungkin tidak memilikirkan masa depan penulis. Namun penulis memiliki panggilan yang penulis percaya dan yakin, bahwa panggilan mula-mula ini akan juga semakin bertambah luas dalam pembentukan di seminari. Ketika berada di seminari termasuk di STTB ini, penulis mulai merencanakan masa depan penulis. Penulis pada awalnya terpanggil untuk melayani dalam bidang konselor, karena penulis merasa sangat kurang sekali kebutuhan dalam bidang ini khususnya dalam kehidupan jemaat di gereja. Namun kemudian setelah masuk di seminari, penulis juga mendapatkan beban dalam pelayanan sekolah minggu, remaja, pemuda (youth pastor); pelayanan dalam bidang ibadah dan musik gereja, kotbah, misi dan pastoral. Penulis memang masih idealis untuk melayani di gereja, karena mungkin berawal dari background penulis yang terlebih dahulu melayani di gereja. Mulai dari komisi remaja, Pemuda (paduan suara, drama), Sekolah Minggu, sampai kebaktian umum (dalam kepanitiaan-kepanitiaan yang ada).

Selain itu penulis juga mungkin masih diberikan beban oleh Tuhan untuk mengajar, walaupun harus dilihat dulu mengajar dalam bidang apa dan di mana (penulis agak minder / kurang percaya kalau untuk mengajar di STT). Hal ini penulis dapatkan dari beberapa masukan dari beberapa rekan hamba Tuhan yang melihat bahwa penulis memiliki karunia mengajar. Oleh karena itu penulis juga menggumulkan hal ini.

Setelah masuk di STTB, penulis mencoba menggumulkan panggilan sebagai youth pastor, yang bisa dikatakan lebih concern dan fokus untuk melayani remaja / pemuda. Bukan dalam arti ladang inilah yang biasa tersedia bagi para lulusan seminari, ataupun karena biasanya ladang ini hanya sekedar batu loncatan. Biasanya tidak akan lama seorang menjadi youth pastor, karena kalau ia memiliki bakat, karunia dan pengalaman maka ia akan diangkat menjadi gembala sidang suatu gereja.

Menjadi seseorang yang terbeban dalam bidang youth dan ibadah (liturgi) tentunya diperlukan suatu keharusan untuk selalu berkembang mengikuti perubahan kemajuan zaman. Kemajuan zaman yang akan terus beradaptasi masuk dalam kehidupan jemaat kaum muda dan gereja. Hal inilah yang menjadi reminder bagi penulis untuk selalu berkembang dan terus belajar untuk mengimbangi dengan konteks yang akan dihadapi. Termasuk dalam hal tuntutan (bukan lagi sekedar kerinduan) untuk belajar, baik itu melalui disiplin membaca buku-buku yang baru dan uptodate, juga tuntutan untuk mengisi diri dengan pembelajaran melalui seminar-seminar yang ada. Termasuk mengasah untuk karunia menulis yang mungkin Tuhan juga bisa tambahkan.

III. Habbit of Mind.
Sebelum mengikuti kuliah teori pemikiran dan mendapatkan tugas esai ini, melalui panggilan dan beban pelayanan, penulis sudah menyadari tuntutan yang harus penulis sadari dan lakukan. Mulai saat ini hingga ke depan nantinya. Melalui kuliah ini, penulis semakin disadarkan bahwa semuanya ini bukan lagi hanya sebagai tuntutan, namun juga harus menjadi habbit (kebiasaan) bahkan menjadi gaya hidup seorang hamba Tuhan. Hingga akan semakin memperlengkapi penulis, entah itu dalam membaca, menulis bahkan dalam membuat dan menyampaikan kotbah-kotbah.

III.1. Kebiasaan membaca.
Gaya hidup yang pertama adalah hal membiasakan diri untuk membaca buku-buku selain buku pelajaran maupun pelayanan. Buku-buku yang tidak hanya bersifat teologis, devotional, namun juga buku-buku autobiografi dan biografi tetapi penulis juga disadarkan untuk membaca buku-buku sekuler seperti yang disarankan oleh sang dosen. Hal ini tentunya akan berguna bagi diri penulis, dalam berinteraksi dengan berbagai jemaat yang berasal dari bermacam-macam background. Penulis bersyukur penulis memiliki kelebihan untuk mudah bergaul dengan siapa saja, hal ini tentunya akan lebih lagi mempermudah penulis untuk memulai pembicaraan dengan orang lain dengan mengetahui perkembangan dan perubahan yang sedang terjadi pada saat ini. Seperti yang dosen telah ajarkan, misalnya buku-buku kepemimpinan, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya.

Kebiasaan penulis dalam membiasakan diri untuk membaca, semakin bertambah setelah masuk seminari. Kalau dulu hanya sekedar membaca koran (wajib hukumnya), komik, dan novel; sekarang ditambah dengan buku-buku teologi yang lebih berat. Penulis menyadari bahwa penulis memiliki kelemahan dalam hal ingatan (sering lupa), oleh karena itu penulis selain membaca juga membuat book notes yang tentunya akan berguna di masa mendatang.

Selain membaca buku, penulis juga diingatkan untuk selalu memiliki pengetahuan yang luas melalui dunia maya, dalam mencari artikel-artikel yang berguna. Sampai saat ini sudah cukup banyak artikel yang penulis miliki, namun belum bisa dibaca semuanya. Karena masalah waktu dan prioritas untuk lebih dahulu fokus pada kuliah dan tesis. Namun penulis berharap, untuk mendisplinkan diri dalam masalah waktu ke depannya, karena ini juga suatu masalah yang sering dihadapi oleh seorang hamba Tuhan dalam kesibukannya sehari-hari dalam pelayanan. Dengan alasan sibuk pelayanan, biasanya seorang hamba Tuhan akan mengingkari tuntutan untuk belajar dan membaca buku. Artinya menyalahkan waktu yang tidak bisa di-manage dengan baik, padahal ada kemalasan dan ketidakseriusan dalam dirinya. Suatu tanggung jawab sebagai seorang hamba Tuhan yang telah hidup dan menikmati dalam lautan anugerah panggilan Tuhan, namun ia menyia-nyiakannya.

Penulis juga semakin diperlengkapi dengan pengajaran sang dosen dalam mencari hal-hal yang penting dalam sebuah tulisan / bacaan. Mulai dari menemukan main theme, kemudian juga main claim yang disertai dengan permasalahan, argumen dan evidence-evidence yang mendukung maupun yang kontra hingga akhirnya menghasilkan konklusi (kesimpulan) yang memiliki integrasi (kesatuan) dengan temanya. Konklusi yang juga harus memiliki relevansi dengan pembacanya hingga bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini tentunya membantu penulis untuk tidak hanya sekedar membaca, namun juga menggali dan mengkritis bacaan-bacaan yang dibacanya. Sehingga tentunya diyakini akan semakin memperlengkapi penulis dengan informasi yang disampaikan. Tidak hanya menerima (absurb) namun juga critical. Sehingga tidak lagi menjadi takut untuk membaca buku-buku lain, yang mungkin tidak sepaham dengan ajaran doktrin Kristen yang penulis yakini.

III.2. Kebiasaan dan tuntutan untuk selalu belajar.
Hal ini juga sudah menjadi rencana penulis, sejak masuk seminari. Tidak cukup hanya sekedar mengikuti kuliah reguler atau dengan hanya membaca buku, namun juga harus dilengkapi dengan mengikuti seminar-seminar. Mulai dari seminar yang memiliki kaitan dengan pelayanan, maupun juga yang bersifat untuk memperlengkapi pelayanan. Tidak hanya itu juga namun seminar-seminar yang bisa menambah wawasan-wawasan pemikiran penulis.

Tidak hanya seminar, namun penulis juga perlu menuntut diri untuk adanya kerinduan untuk studi lanjut. Tidak mustahil jika ada keinginan, kerinduan dan Tuhan menghendaki supaya masing-masing hamba Tuhan untuk studi lanjut. Hal ini perlu menjadi perhatian bersama, karena menyikapi kebutuhan dalam menghadapi perubahan dan perkembangan zaman. Khususnya melihat jemaat yang semakin sadar akan pentingnya pendidikan, sehingga mereka tidak lagi berasal dari kalangan lulusan S1, namun sekarang saja sudah banyak lulusan S2 bahkan PhD.

Pada awalnya, memang penulis merasa sangsi untuk studi lanjut, namun sekali lagi hal ini menjadi tanggung jawab yang harus menjadi perhatian penulis sebagai calon hamba Tuhan. Tidak ada yang mustahil bagi seseorang dalam melakukan sesuatu jika menyertakan Tuhan dan dengan tujuan untuk memuliakan nama Tuhan. Mungkin minimal bisa ambil program MA. atau M.Min., namun tidak tertutup kemungkinan untuk ambil program M.Th. sekalipun. Penulis belajar untuk tidak mengalahkan diri penulis dengan perasaan-perasaan yang pesimistis dan skeptis, melainkan hidup dengan pengharapan dan optimis.

III.3. Kerinduan untuk menuangkan dalam tulisan-tulisan.
Kerinduan ini mulai penulis rasakan ketika menyikapi hadirnya teknologi blogging di internet. Banyak anak-anak muda ketika surfing di internet hanya surf ke halaman-halaman yang tidak membangun sebagai orang Kristen, bahkan mungkin membawa ke dalam keberdosaan.

Sebagai seorang calon hamba Tuhan, kerinduan untuk memiliki blog ini juga dipicu dari hamba-hamba Tuhan lain yang telah lebih dahulu sudah memiliki blog yang berisi tulisan-tulisan yang menjadi berkat secara pribadi. Entah itu berupa perenungan firman Tuhan, sharing, namun juga ada yang bersifat berat (contohnya perdebatan-perdebatan teologis).

Tidak bisa dipungkiri, penulis juga merasa lemah dalam hal penulisan. Selain kurang berpengalaman, juga dipengaruhi faktor kurang banyak membaca buku juga. Hal ini disadari ketika melakukan penulisan paper dan tesis pada saat ini. Namun sekali lagi melalui kuliah teori pemikiran ini, penulis mendapatkan banyak berkat melalui bahan-bahan materi yang diberikan yang kiranya akan membentuk pola pikir kritis dalam menulis suatu tulisan juga. Baik itu dimulai melalui penulisan paper dan tesis, hingga akhirnya diharapkan dalam penulisan yang lebih lanjut.

IV. Tantangan yang mungkin dihadapi.
Penulis tidak mengingkari kemungkinan adanya tantangan-tantangan yang menghadang. Namun sekali lagi, merujuk kepada perkataan seorang filosof , bahwa tantangan yang terbesar adalah berasal dari diri sendiri. Kelemahan ini diantaranya adalah mulai dari kemalasan untuk membaca dan belajar; ketakutan dan keraguan untuk memulai sesuatu yang baru; kurang bertanggungjawab dan menghargai anugerah panggilan dan waktu sehari-hari; mudah menyerah; takut gagal; kurang semangat dan sering jenuh; dan masing banyak lagi.

Namun satu hal yang pasti, penulis harus mengingatnya dan aware akan semua kelemahan-kelemahan diri yang bisa menjadi tantangan dalam menjalani habbit of mind ini. Seperti yang Tuhan Yesus katakan dan ajarkan untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, kekuatan dan akal budi; demikianlah seharusnya juga penulis bisa meng-amin-kan dan menerapkan mulai saat ini, dari hal yang terkecil sekalipun, termasuk dalam konteks kebiasaan dalam berpikir kritis.

Kebalikannya, maka penulis juga harus dituntun untuk memiliki karakter-karakter yang sejalan dengan tujuan untuk menjalankan habbit of mind tadi. Diantaranya adalah karakter untuk rendah hati (humble), mau belajar dari orang lain (teachable), bertanggungjawab atas anugerah, panggilan dan karunia yang telah diberikan (responsible), semangat dan tidak mudah menyerah (passion), belajar dari kegagalan dan tidak mengulangi lagi.

IV. Kesimpulan.
Penulis mengucapkan terima kasih atas pengajaran bapak Agus Gunawan, M.Th. dan bahan-bahan materi yang diberikan dalam kuliah teori pemikiran ini, termasuk melalui pengalaman-pengalaman yang diberikan selama berlangsungnya kuliah. Selain itu melalui tugas-tugas yang diberikan, dan esai yang diperintahkan,semakin menyadarkan penulis untuk mulai menerapkan cara berpikir kritis, berargumen dalam kehidupan sehari-hari sebagai seorang calon hamba Tuhan, khususnya.

Kiranya pada akhirnya melalui mata kuliah ini, yaitu belajar untuk berpikir kritis akan semakin memuliakan Tuhan pada penerapannya dalam kehidupan diri penulis. Soli Deo Gloria.

Selasa, 05 Juli 2011

Kerendahan Hati Sebagai Murid Kristus


Pendahuluan
Khotbah kali ini adalah salah satu contoh dalam menempatkan otoritas Kristus dalam kehidupan orang percaya, yaitu dengan hidup dalam kerendahan hati sebagai murid Kristus. Kerendahan hati untuk dibentuk dan diajar hingga semakin serupa dengan Kristus. Sesuai dengan kehendak-Nya sehingga pada akhirnya dipakai menjadi salah satu alat-Nya di dalam dunia ini.

Kita pada hari ini kembali melanjutkan khotbah seri tokoh Alkitab Perjanjian Lama, yang dikenal dengan kerendahan hatinya, yaitu Musa. Ketika sedang memikirkan apa yang bisa saya khotbahkan kembali dari tokoh Musa, setelah satu tahun yang lalu kita secara bergantian mengkhotbahkan dari Kitab Keluaran (dari tk. 4-skripsi sampai M. Div tk. 2); kemudian ditambah lagi ketika awal semester lalu Pak Adrie mengkhotbahkan tema kelemahlembutan dalam pribadi Musa. Saya berpikir wah apalagi nih yang saya bisa angkat dari tokoh ini. Jangan-jangan saya malah melakukan Eisegese-memasukkan pikiran saya ke dalam nats khotbah saya.

Namun saya bersyukur, Tuhan boleh membantu saya melalui Roh Kudus untuk melihat bahwa ada sisi lain dari Musa, yaitu kerendahan hatinya, dalam arti mau belajar dibentuk Allah. Mau belajar untuk keluar meninggalkan kenyamanannya sebagai seorang pangeran Mesir-calon Firaun (raja Mesir). Karena menurut beberapa penafsiran Firaun pada waktu itu tidak mempunyai anak laki-laki, hanya seorang puteri, dan Musa adalah anak angkat dari puteri tersebut.

Kenyamanan yang sedang saya gumuli adalah soal berpuasa. Saya belajar untuk bisa berpuasa (skip makan siang sampai buka makan malam). Saya belajar untuk menjalankannya dengan konsep / motivasi yang benar.

Dalam Buku Spiritual Disiplin “Simplicity and Fasting” by Jan Johnson, menyatakan bahwa Berpuasa adalah salah satu disiplin rohani dalam menyangkal diri. Mengalahkan kenyamanan diri kita-kenikmatan yang berfokus kepada kita, dengan kembali berfokus kepada Allah. Berpuasa juga menyingkapkan akan sikap kita yang terburuk yang akan terjadi bila kita lapar, menghadapi godaan dalam kesepian, ketika kelelahan-amarah. Berpuasa menyingkapkan hal2 yang menguasai kita, bagian dari diri kita yang ingin kita singkirkan. Berpuasa bisa juga dengan berlatih menyangkal diri dengan berpantang dari orang2 (menyendiri), berpantang dari berbicara (diam), berpantang dari berbelanja (menghemat), berpantang dari menghabiskan waktu degan sesuatu seperti media (TV-radio-HP). Atau mungkin berpantang dari makanan olahan dalam kemasan yang diproses untuk bertahan dalam waktu lama, malas berolahraga / sebaliknya, menjauhkan diri dari kehidupan dengan jadwal keja yang super padat.

Pada intinya kenyamanan adalah sebuah perasaan yang menyenangkan diri kita-ego kita. Inilah yang coba akan kita sama-sama belajar dari Musa. Kenyamanan yang harus ia lepaskan hingga akhirnya ia pun masuk ke dalam pembentukan Allah di padang gurun-sekolah di Midian.

Latar Belakang

Kita tahu bahwa kehidupan Musa dibagi dalam 3 masa:
Pada awal kelahirannya ditandai dengan marabahaya yang mengancam keselamatan bayi Musa, namun beruntung ia hidup. Beruntung karena ia diadopsi menjadi puteri Firaun bahkan diasuh sendiri oleh ibunya selama 3-4 tahun. Namun kita percaya, ini bukan kebetulan / keberuntungan melainkan ada penyertaan-pemeliharaan Allah.
1. Fase 40 tahun pertama, (menurut Charles Swindoll) Musa hidup dengan berpikir bahwa ia adalah seorang yang penting di Mesir.
2. Fase 40 tahun kedua, ia belajar bahwa ia adalah seorang yang tidak berarti-tidak terkenal di padang gurun.
3. Fase 40 tahun terakhirnya, ia akhirnya belajar untuk menemukan apa yang Allah bisa lakukan terhadap seorang yang tidak berarti- yaitu dengan memakainya menjadi alat Tuhan untuk membebaskan umat-Nya dari Mesir dan memimpinnya untuk bertemu Tuhan di Gunung Sinai, serta mempersiapkan pemimpin Yosua untuk melanjutkan tugas hingga masuk ke tanah Kanaan.

Isi

Kita akan buka fase diantara yang pertama dan kedua, kita buka Kel. 2:10-22.
1. Fase kenyamanan di istana, yang akhirnya harus dilepaskan
Musa disiapkan untuk menjadi pangeran (calon raja) oleh puteri Firaun-menyimpan di dalam hatinya suatu hasrat, suatu hari nanti, untuk menjadikan Musa pewaris takhta raja atas seluruh Mesir. Fasilitasnya yang nomor satu.
Hidupnya berubah setelah kira-kira menurut beberapa penafsiran umur 4 tahun, ia dikembalikan ke Mesir. Umur masa kelas kecil (Balita). Dulu hidup seperti dalam kesederhanaan berubah 100 % menjadi kaya raya.
Kis 7 (Stefanus) Ay. 22: selama 40 tahun Musa dididik dalam segala hikmat orang Mesir, dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya->protokol, gaya hidup dan budaya kehidupan Mesir (ilmu alam, pengobatan, astronomi, kimia, teologia-dewa, filosofi, dan hukum; militer; seni; literatur). Sejarahwan: Musa umur 30 tahun, sudah memimpin bala tentara Mesir, untuk memenangkan tentara Ethiopia. Namun hal itu berubah ketika ia telah dewasa (ay. 11)
Kata keluar di sini unik, karena muncul 2 kali dalam bagian ini (ay 11 & 13).

2. Ay. 11 Musa (mau untuk) keluar mendapatkan saudara2nya untuk melihat mereka kerja paksa
“keluar” : sesuatu kondisi yang berubah, dalam bentuk tempat dan kondisi, co keluar dari dalam keluar.
Konteks Musa keluar dari istana Mesir ke tempat saudara2nya (orang sebangsanya). Kis 7:23 ada keinginan dalam hatinya.

Kembali ke Kel 2:10 pada waktu masa prasekolah, ia diasuh oleh ibunya. Umur 3-4 tahun cukup untuk sang ibu Yokhebed mengajarkan tradisi orang Ibrani-Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Cerita tentang nenek moyang dan asal usul dari Musa.
Hal inilah yang menggerakkan Musa untuk keluar. Ia keluar dengan sadar bahwa ia adalah orang Ibrani, tidak hanya mendapatkan saudara2nya, tapi juga melihat kerja paksa mereka (tidak hanya untuk sekedar observasi tapi juga ada perasaan prihatin-terharu / kasihan).

Terlebih lagi peristiwa orang Mesir memukul orang seorang Ibrani. Musa prihatin dan peduli dengan nasib orang2 sesama bangsanya yang ditindas dengan kerja paksa. Ada sesuatu yang memotivasinya, hingga ia juga langsung bertindak - action.
Ketika ada orang Ibrani yang dipukul. Ia dengan sembunyi-sembunyi (menoleh kesana-kesini dan ketika tidak ada orang) dibunuhnya orang Mesir itu dan disembunyikan mayatnya. Ia tidak tahan terhadap adanya ketidakbenaran dan ketidakadilan, apalagi Ia pun juga adalah orang Ibrani.

Ada kedekatan emosional, orang yang dianiaya = sebangsanya = dirinya = berarti dia pun juga sama-sama merasakannya.Tapi aksinya di sini yang padahal tujuannya untuk membela bangsanya, ternyata ditolak oleh bangsanya sendiri. Aksinya ini pun bersumber kepada diri sendiri, Allah tidak diikutsertakan. Terlihat dengan menyembunyikan pembunuhan tersebut.

Lagi-lagi ia keluar keesokan harinya (ay. 13) untuk melihat keadaan mereka. Sampai akhirnya melihat ada 2 orang Ibrani yang berkelahi, dan salah satunya menolak tindakan Musa yang seakan2 sebagai pemimpin dan hakim atas bangsa Ibrani. Bahkan menuduh Musa mau membunuhnya, sama seperti orang Mesir. Salah satu alasannya adalah karena ia adalah pangeran Mesir.

Hal yang terjadi di sini adalah masalah actionnya yang salah…yang tidak menyertakan campur tangan Allah. Boleh dibilang terlalu asertif-bahkan sampai membunuh karena Ia boleh dibilang sudah terdistorsi dengan latar belakang dia sebagai putra Mesir. Dianggapnya dia yang memegang kuasa, dia langsung bisa menghakimi orang lain bahkan menghukumnya. Namun ia pun juga memiliki perasaan takut ketika melakukan itu (ia membunuhnya ketika dilihatnya tidak ada orang dan menyembunyikannya di dalam pasir), tapi ia lupa takut akan Tuhan yang ia dulu pernah ingat dan Tuhan melihat kejadian itu.

Ini cara Musa-manusia, bukan Allah. Ini bukan cara Allah untuk membebaskan Israel.

Sampai akhirnya ia melarikan diri karena takut akan dibunuh oleh Firaun. Firaun kemungkinan ingin membunuhnya karena menyadari bahwa pangeran ini tidak menunjukkan kesetiaannya sebagai orang Mesir dan seakan2 tidak terkendali.
Seakan2 larinya Musa adalah sebuah keterpaksaan, namun kita percaya di balik semua ini ada maksud Tuhan pada diri Musa, ini terbukti ketika ia sampai di tanah Midian ( daerah dekat G. Sinai, orang-orangnya diperkirakan keturunan Abraham dari salah satu gundiknya yang bernama Ketura).

3. Allah memimpin dan memelihara Musa, selamat sampai di Midian
Ia masuk dalam Pemeliharaan dan pembentukan Allah yaitu ke dalam sekolah “gembala-calon pemimpin” yang nampak dari babak kedua kehidupan Musa di padang gurun. Padang gurun merupakan sekolah terbaik dari Allah, tempat tempaan Allah yang paling jitu dari Allah terhadap Musa, untuk mempersiapkannya. Tujuan sekolah pembentukan di padang gurun, adalah bukan sebagai tempat Allah mengenal kita

A. sekarang Allah yang memimpin Musa, bukan lagi dengan kemampuannya sendiri / egonya. Melalui perseteruannya dengan para gembala yang menganggu ketujuh gadis di Median. Allah yang sekarang mengijinkan Musa membela kebenaran dan keadilan di Midian. Ia juga melindungi ketujuh gadis itu. Memimpin Musa ketemu dengan calon istrinya dan mertuanya (tempat tinggal sementara)

B. kita diajar untuk mengenali diri kita sendiri. Merendahkan hati kita. menunjukkan kekuatan dan kelemahan kita. Keadaan Musa yang seakan-akan memalukan untuk menjadi seorang Putra Mesir yang berubah menjadi seorang gembala domba mertuanya. Bersedia tinggal di rumah Yitro, karena ga tau lagi mau kemana.
Anda mentoleransi ketidakenakan dan bertahan dengan situasi ini, belajar menerima sejumlah keadaan yang tidak pernah kita bayangkan akan menjadi bagian di dalam hidup anda.

C. Ada waktu yang harus dikurbankan dalam pendidikan Allah, tidak ada yang instan. Waktunya sesuai dengan kehendak Allah-Musa 40 tahun di padang gurun. Belajar untuk diam-menunggu, sampai saatnya ketemu dengan Allah di semak duri yang menyala, tapi tidak terbakar, sampai berangkat kembali ke Mesir.

D. Pendidikan Allah yang tidak nyaman menurut kehendak kita, tapi dari sisi Allah itu akan sesuai dengan rencana-Nya. Terkadang sakit. Bahkan rela untuk tidak dikenal. Diajar untuk bersikap seperti hamba. Allah mendidik kita dengan menerobos sampai ke bagian yang tersembunyi.
Terkadang kita merasa tidak membutuhkannya, terkadang kita lelah akan hal-hal itu. Tapi maukah pada akhirnya kita akan dengan penuh ucapan syukur kita mau menerimanya.

E. Kel 2:22 Gersom =aku telah menjadi seorang pendatang di negeri asing. Mengingatkan Musa
Pendatang = seseorang yang tinggal di antara orang2 yang tidak memiliki hubungan darah (asing), seharusnya tidak terjamin hidupnya karena tidak kenal siapa2.
Tapi ada pengharapan bahwa Allah akan menyertai-memimpin dan menolong Musa. Ini terbukti dengan sikap yang ditunjukkan oleh Yitro yang bersikap baik, bahkan menjadi mertuanya.

Dari sini, Musa kembali diajar Allah untuk merasakan hidup sebagai pendatang di negeri yang asing, sebelum akhirnya ia akan menjadi pembebas orang Israel dari negeri asing dan akan berjalan menuju ke Tanah Kanaan yang asing. Selain itu juga bagaimana harus bersikap sebagai bangsa yang menerima pendatang dari bangsa lain. Di tengah perjalanan mereka pun akan menghadapi bangsa2 asing yang tinggal di sekitar mereka.
Musa akan menjadi gembala dari domba2 Israel, yang bertugas untuk memimpin keluar dari Israel, memimpin untuk bertemu dengan Allah, serta juga melindungi dari musuh2 asing.

Aplikasi
1. Bagaimana dengan kenyamanan2 kita, apakah kita memilih untuk tetap membawa dan menikmati ketika kita sudah berada di sini, dalam jalan panggilan Tuhan?
Termasuk kenyamanan di kampus ini, seperti Wifi, fasilitas asrama yang setaraf dengan hotel, makanan, perpust. buku yang lengkap. Seringkali hal ini lah yang membebani kita bukan, ketika kita pergi pelayanan? Termasuk saya.
Termasuk kenyamanan dalam hal sikap karakter kita. Keangkuhan kita mungkin, ingin terus dilayani. Bahkan kebiasaan2 dosa kita pun masih kita bawa. Terlebih lagi ketika kita akan masuk ke ladang pelayanan 2 bulan dan 1 tahun.
Kita lebih khawatir untuk melepaskannya. Kita malah terkesan mengeluh, seakan2 tidak memiliki iman. Kita kurang percaya kepada Tuhan, pimpinan dan pemeliharaan-Nya terhadap anak-anak2-Nya.
Ibrani 12:1 mengajak kita untuk menanggalkan beban dan dosa yang begitu merintangi kita. Saksinya adalah Musa. Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Tuhan.

2. Maukah kita belajar rendah hati / humble seperti Musa yang dididik Tuhan di padang gurun Median. Ia belajar dari awal untuk percaya dan taat akan pimpinan Tuhan-otoritas Tuhan dalam hidupnya. Ilustrasi cuci kaki=belajar untuk merendahkan hati seperti Tuhan Yesus mengasihi murid2Nya.
Sekolah padang gurun Median kita adalah di sini, di STT ini dan ketika kita praktek pelayanan. Karena semuanya akan membentuk dan memperlengkapi kita sebelum kita keluar, keluar menuju ke ladang pelayanan. Menjadi seorang gembala dari domba2 Kristus-orang percaya, entah itu di sekolah, lembaga misi, gereja, STT, di mana saja Tuhan mau menempatkan kita.
Hebrews 11:24-27 24 Karena beriman, maka Musa sesudah besar, tidak mau disebut anak dari putri raja Mesir->menolak / menyangkali sebagai anak dari putri Firaun. 25 Ia lebih suka menderita bersama-sama dengan umat Allah daripada untuk sementara waktu menikmati kesenangan dari hidup yang berdosa. 26 Musa merasa bahwa jauh lebih berharga untuk mendapat penghinaan demi Raja Penyelamat yang dijanjikan Allah itu daripada mendapat segala harta negeri Mesir, sebab Musa mengharapkan upah di hari kemudian. 27 Karena beriman, maka Musa meninggalkan Mesir tanpa merasa takut terhadap kemarahan raja. Musa maju menuju tujuannya seolah-olah ia sudah melihat Allah yang tidak kelihatan itu.