Tulisan ini ditujukan untuk semua orang percaya dari seluruh golongan usia. Kata kepo pada saat ini, tidak
hanya menjadi trend di kalangan para anak muda; namun juga sering dilontarkan
oleh beberapa kalangan dewasa.
Namun yang menjadi perhatian saya, sebagai seorang Hamba Tuhan adalah ketika
penggunaan kata “Kepo” ini yang terkadang terkesan sembarangan dan tidak sesuai
dengan fungsi awalnya. Semua orang yang bertanya seakan-akan terkesan ingin
tahu dan mengorek-mengorek sesuatu, tanpa melihat motivasinya sudah langsung dijudge sebagai orang kepo. Padahal
mungkin dari pihak si penanya, ia tidak ada maksud ingin tahu semua keadaan
orang itu (bahkan menjadi orang yang sok tahu).
Hal-hal semacam inilah yang ingin coba saya berikan berupa pertimbangan mengenai
pemahaman kata kepo untuk lebih
diperhatikan lagi dalam penggunaannya.
Di bawah ini, saya sajikan beberapa pendefinisian kata kepo, yang saya ambil dari internet:
Kata “Kepo” menurut kamus kitab gaul (http://kitabgaul.com/word/kepo)
berasal dari kata Hokkian, yang berasal dari 2 kata yaitu ke dan po (apo). Ke artinya bertanya dan Po (Apo) artinya nenek-nenek. Artinya secara
jelas adalah merujuk kepada kebiasaan orangtua (nenek dan kakek juga) yang
sering bertanya ingin tahu keadaan anak atau cucunya.
Kata ini juga ditujukan kepada orang yang ingin tahu sesuatu ketika ia
mendengar sesuatu, dimana ketika ia menjawab sebenarnya ia sedang tidak diajak
berbicara pada saat itu. Ga minta dibantu, eh malah bantu; ga ditanya eh malah
pasang gaya pingin kasih tau.
Bahkan ada yang mengistilahkannya dengan bahasa Inggris, yaitu KEPO = Knowing Every Particular Object (selalu
pingin tahu dan mengetahui segala sesuatu).
Friends, dari definisi ini maka dapat kita tarik beberapa hal yang bisa
menjadi suatu pertimbangan mengapa terjadi penyalahgunaan kata ini di dalam
percakapan kita sehari-hari. Saya akan berikan salah satu contoh ilustrasinya.
Ada seseorang hamba Tuhan yang merasa tersinggung ketika seorang remaja (bisa
juga dialami oleh seorang jemaat) mengatakan bahwa ia adalah seorang yang kepo,
karena hamba Tuhan ini sering bertanya-tanya mengenai keadaan anak remaja ini.
Dari sisi anak remaja ini merasa bahwa hamba Tuhan ini sangat mengganggu
privasinya, sehingga seakan-akan mengorek keadaan pribadinya. Sedangkan dari
sisi hamba Tuhan ini, ia merasa bahwa ini adalah sebagian dari tugas penggembalaannya
untuk mengetahui keadaan anak remajanya.
Nah, dari ilustrasi ini dapat kita tangkap permasalahannya, bukan? Mau
tidak mau, kita sekarang hidup di zaman postmodern yg menekankan suatu
pandangan relativisme. Suatu pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada
kebenaran yang absolut, yang ada adalah kebenaran menurut penilaian pribadi (relatif-selera)
masing-masing.
Inilah yang sering terjadi di beberapa kalangan yang merasa bahwa
penilaiannya adalah sebuah kebenaran. Memang tidak bisa langsung menjudge sesuatu karena masing-masing case harus dilihat dari beberapa aspek.
Pemikiran seorang remaja atau jemaat yang tidak mau diperhatikan atau
ditanya-tanya oleh seseorang jemaat lain atau oleh hamba Tuhannya akan memakai
alasan penggunaan kata kepo ini untuk
self-defense. Ia tidak mau tahu bahwa
orang yang sedang bertanya ini, mungkin ada maksud yang baik. Bukankah
seharusnya kita juga harus bisa memahami orang lain, dengan cara belajar
melihat sesuatunya diimbangi dengan melihat dari sisi orang lain (melihat dari
kacamata orang lain). Mungkin saja dari pihak si penanya, memang ingin tahu dan
mengenal orang yang ditanya. Atau mungkin saja dari pihak yang ditanya, memang
memiliki karakter yang agak tertutup sehingga sangat sulit untuk ditanya.
Intinya adalah apakah seseorang yang dianggap kepo (ingin tahu) memiliki motivasi yang benar, terlebih jika hal
ini terjadi di dalam sebuah komunitas orang percaya. Suatu pertanyaan jika
didasari atas motivasi dan tujuan yang benar seharusnya dapat disikapi dengan
jawaban yang benar juga.
Bagi si penanya, tentu saja suatu pertanyaan yang diberikan, dengan
motivasi yang tulus dan bertujuan untuk mengenal dan peduli, tentunya juga akan
diwujudkan dengan pertanyaan yang bukan seperti mengorek-ngorek rahasia pribadi
orang lain.
Jadi masing-masing pihak juga harus mendasari apa yang dilakukannya
dengan tujuan yang benar. Saya bisa berikan usulan, yaitu bertujuan untuk
saling membangun, membentuk dan memperhatikan sebagai satu kesatuan TUBUH
KRISTUS (ingat 1 Kor 12:25, 27).
1 Korintus 12:25 supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh,
tetapi supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan.
1 Korintus 12:27 Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu
masing-masing adalah anggotanya.
Jadi alangkah baiknya kalau kita sembarangan memberikan cap kepo kepada seseorang yang sedang bertanya-tanya kepada kita. Di satu
sisi, ketika kita bertanya pun kita harus bertanya dengan motivasi dan tujuan
yang benar dan tulus juga. Contohlah apa yang Tuhan Yesus lakukan ketika ia dengan
sengaja dan mau bercakap-cakap dengan perempuan Samaria di Yohanes 4:4-30 (perhatikan
latar belakang permusuhan antara orang Yahudi dan orang Samaria).
Mungkin kalau saya melihat dan merasakan dari sisi perempuan Samaria,
saya juga akan mencap bahwa Yesus adalah orang yang kepo. Untuk apa Yesus
sebagai orang Yahudi mengajak berbicara dirinya sebagai seorang perempuan
Samaria dan bahkan melihat statusnya sebagai perempuan berdosa (ditafsirkan
pekerjaannya adalah seorang perempuan berdosa, kasarnya pekerja seksual). Tidak
hanya itu, bahkan Yesus menyuruh-nyuruh dirinya untuk memanggil suaminya, yang
notabene kita tahu status perempuan ini adalah perempuan dengan status memiliki
suami lebih dari satu.
Tapi kita tahu sama-sama bahwa akhirnya melalui perempuan Samaria ini, ternyata
Yesus melakukannya dengan motivasi dan tujuan yang memuliakan Allah Bapa-Nya di
Sorga. Melalui perempuan ini, tidak hanya memenangkan jiwanya (diampuni dan
diselamatkan) tetapi juga bahkan mengajak orang lain untuk datang, bertemu dan
mengenal Kristus. Hal inilah yang harus kita teladani dari dua pribadi ini.
Dari pribadi Kristus yang mau menjangkau dan peduli dengan orang lain sambil
menceritakan tentang Allah; dan pribadi perempuan Samaria yang tidak bersifat
tertutup dengan pemikiran sempitnya tentang orang Yahudi maupun tentang orang
lain yang mau bercakap-cakap dengan dirinya, yang seakan-akan menyinggung
masalah pribadinya yang paling dalamnya.
Jika perempuan ini memandang bahwa Yesus adalah kepo, maka ia sudah terlebih dahulu menutup pintu hatinya untuk
mengenal Mesias, penyelamat yang dinubuatkan itu. Jadi janganlah sembarangan
kita memiliki pemikiran yang sempit tentang orang lain yang bertanya dan ingin
mengenal kita lebih dalam sebagai orang yang kepo. Padahal orang itu bertanya dengan motivasi hati dan tujuan
yang tulus. Yakobus pun juga mengingatkan untuk berhati-hati menggunakan lidah
kita dalam berkata-kata (bandingkan perumpamaan: mulutmu adalah harimaumu).
Selamat merenungkan dan jika ada yang kurang berkenan atau tidak setuju,
boleh kita saling memperlengkapi satu sama lain dengan diskusi yang membangun. Blessings.